MASALAH
GIZI BURUK DI DAERAH SUMATERA BARAT DAN CARA MENGATASINYA
MATA
KULIAH SOSIOLOGI KESEHATAN
Oleh :
Siti
Ahsanunadiyya
NiM
: 1607515
PROGRAM DIPLOMA PRODIKEPERAWATAN
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
2016
MASALAH
GIZI BURUK DI DAERAH SUMATERA BARAT DAN CARA MENGATASINYA
Oleh: Siti Ahsanunadiyya, 1607515
Masalah yang sering terjadi di dunia
ini termasuk di Negara tercinta kita ini
Indonesia adalah gizi buruk.Sehingga masalah ini merupakan salah satu poin yang penting
untuk mengatasi masalah ini menurut Milleneum Development Goals
(MDGs).Di setiap Negara masalah gizi buruk ini harus segara diatasi walaupun
secara bertahap.Pada tahun 2015 gizi buruk sudah berkurang hingga mencapai 15%.
Sama halnya dengan indonesia masalah gizi buruk sangatlah penting untuk segera
diatasi, hal ini berpengaruh terhadap pembangunan bangsa.
Sebagai
salah satu negara yang memiliki kompleksitas kependudukan yang sangat beraneka
ragam, Negara Indonesia berhasil menurunkan angka balita kurang gizi dari 31 %
dan pada tahun 1989 menjadi 18,4 % pada tahun 2007. Ini menunjukan bahwa proses
pencapaian target MDGs secara bertahap dapat dilakukan oleh Indonesia yang
notabene adalah Negara berkembang. Namun, kesenjangan antar daerah perkotaan
dan pedesaan sering terjadi. Angka balita gizi buruk di perkotaan mencapai 15,9
% lebih rendah dibanding angka gizi buruk yang terjadi di pedesaan yang
mencapai 20,4 % dan juga terdapat kesenjangan antar kelompok sosial ekonomi.
Proses terjadinya kekurangan gizi
yang terjadi secara menahun dan merupakan kondisi terparah dalam masalah
kesehatan dan bukan kejadian yang terjadi secara tiba-tiba disebut gizi buruk.
Status gizi pada balita secara sederhana dapat diketahui dengan membandingkan berat
badan menurut umur maupun menurut panjang badannya dengan rujukan (standar)
yang telah ditetapkan. Sedangkan jika sedikit di bawah standar disebut gizi
kurang.Kalau jauh di bawah standar dikatakan gizi buruk Istilah Gizi buruk yang
disertai dengan tanda-tanda klinis disebut marasmus atau kwashiorkor.
Malnutrisi primer adalah istilah
yang digunakan untuk gizi buruk di daerah pedesaan
atau daerah miskin, hal ini disebabkan karena masalah ekonomi, rendahnya
pengetahuan, dan kurangnya asupan gizi. Gejala klinis malnutrisi primer sangat
bervariasi juga tergantung pada derajat dan lamanya kekurangan energi dan
protein, umur penderita dan adanya gejala kekurangan vitamin dan mineral
lainnya. Kasus tersebut sering dijumpai pada anak usia 9
bulan hingga 5 tahun. Pada saat pertumbuhan yang terganggu dapat dilihat dari
kenaikkan berat badan terhenti atau menurun, ukuran lengan atas menurun,
pertumbuhan tulang (maturasi) terlambat, perbandingan berat terhadap tinggi
menurun.Tanda klinis dan gejala yang tampak adalah anemia ringan, aktifitas
berkurang, kadang di dapatkan gangguan kulit dan rambut.
Berdasarkan penelitian yang
dilakukan pada tiga komunitas di Sumatera Barat tahun 2010. Jumlah sampel yang
ditetapkan sebanyak 572 yangakan mencerminkan situasi rumah tangga di Sumatera
Barat, dan mencirikan masyarakat nelayan, masyarakat pertanian dan perkebunan,
dan masyarakat perkotaan. Ketiga jenis masyarakat ini kemudian akan dipilih
daerah yang representatif pada setiap kabupaten/kota. Jumlah sampel ditentukan
dengan melakukan sampling terpilih, yaitu desa yang terpilih secara acak.Lalu
penarikan sampel dilakukan secara sistematik bergiliran sampling dari interval
sampel yang ditentukan sesuai dengan jumlah rumah tangga yang ada.
Dari hasil studi penelitian
seacar umum, jumlah penderita gizi buruk di daerah terebut sanglah besar. 17,6
% balita memiliki resiko gizi buruk. Hal Ini memang sangat disayangkan karena
daerah ini merupakan daerah dengan tingkat produksi pertanian yang tinggi.
Begitu juga dengan perikanannya yang merupakan sentra perikanan untuk kawasan
Sumatera.Hal ini menunjukkan berarti
pengaruh produksi pangan tidak memberikan jaminan terhadap resiko penderita gizi
buruk di Sumatera Barat. Bila dilihat menurut komunitas, komunitas nelayan
memiliki proporsi tingkat penderita gizi buruk yang relatif tinggi dibanding
dua komunitas lain seperti komunitas perkotaan dan komunitas pertanian.Sungguh
ironis dengan kekayaan pangan yang tinggi namun masalah gizi buruk masih tetap
ada.
Factor yang mempengaruhi gizi
buruk di daerah Sumatera Barat diantaranya, factor migran.Hasil studi penelitian
menunjukan penduduk pendatang (migran) memiliki resiko penderita gizi buruk
pada balita dibandingkan dengan penduduk asli.Hal ini dapat dilihat dari nilai
probabilitas sebesar 1,190.Artinya maka di Sumatera Barat terjadi ketimpangan
ekonomi, dimana akses ekonomi lebih dikuasai oleh masyarakat asli.Sedangkan
pendatang cenderung berekonomi miskin. Apabila kemiskinan ini terjadi maka
masalah yang akan selanjutnyayaitu adanya penderita gizi buruk pada balita.
Selain itu faktor Pendidikan juga
mempengaruhi meningkatnya angka gizi buruk di daerah ini.Pengetahuan terhadap
gizi dan kesehatan.Apabila pengetahuan yang dimiliki oleh orang tua rendah,
maka pola asuh orang tua terhadap anak menjadi kurang baik.Dan akibatnya
berpengaruh terhadap tumbuh kembang anak. Sekitar 21,6 % balita yang berasal
dari kelompok masyarakat miskin menderita gizi buruk, hal ini berarti temuan
tersebut terdapat implikasi bahwa tingkat kemiskinan yang tinggi dan pendidikan
yang rendah merupakan resiko terbesar dalam persoalan gizi buruk di Sumatera
Barat. Namun hal ini juga dapat dipengaruhi oleh Usia Kepala Rumah Tangga, pada
data hasil penelitian menunjukan bahwa resiko gizi buruk pada balita paling
tinggi terjadi terjadi pada kepala rumah tangga dengan usia muda yaitu usia 24
tahun kebawah dengan probability sekitar 1,298 kali lebih besar dibanding usia
lain.
Pada kondisi pendidikan orang tua
juga berpengaruh, dengan tingkat pendidikan rendah (SD/tidak tamat SD) maka
cenderung memiliki resiko yang besar terhadap kualitas gizi anak, dimana
probability resiko gizi buruk 5,699 kali lebih besar dibandingkan dengan orang
tua dengan pendidikan yang lebih tinggi yaitu SMP, SMA dan Perguruan Tinggi.
Namun, uniknya faktor Jumlah Anggota Rumah Tangga (JART) juga berpengaruh.Hasil
penelitian menunjukan hal yang unik bahwa semakin besar anggota rumah tangga
semakin rendah resiko anak balita menderita gizi buruk.Hal ini terjadi akibat
besarnya tingkat produktivitas dari rumah tangga dengan jumlah anggota keluarga
yang banyak.Dan juga ada indikasi anak dilibatkan dalam membantu ekonomi rumah
tangga yaitu dengan bekerja yang berat sehingga total pendapatan rumah tangga
menjadi meningkat.
Fenomena ini kemungkinan
berkaitan juga dengan pengalokasian dana yang digulirkan oleh pemerintah
(Pusat) untuk penanggulangan kasus gizi buruk.Sungguh sangat Ironis.Maka akantimbul
pertanyaan untuk pemerintah, di manakah laporan hasil pemantauan status gizi
berada dan ke mana laporan tersebut dikirimkan selama ini? Secara teknis,seharusnya
laporan tersebut berada di Dinas Kesehatan (untuk Daerah) dan Departemen
Kesehatan (untuk Pusat). Secara teknis pula, lembaga-lembaga tersebut
bertanggungjawab atas kajian data hasil pemantauan yang dilakukan secara
berkala mulai dari tingkat Puskesmas, sampai dengan Posyandu sebagai ujung
tombak sumber informasi.Demikian pula institusi rumah sakit, merupakan unit
pelayanan yang juga turut berkontribusi atas tersedianya informasi kasus
tersebut karena berkaitan dengan fungsinya sebagai pusat rujukan kasus.
Departemen Kesehatan telah
mengadakan suatu pertemuan yang bertujuan untuk sosialisasi pencegahan dan
penanggulangan gizi buruk bagi pemegang kebijakan di Batam pada 6-8 Oktober
2005 (Regional I) dan di Yogyakarta 11-13 Oktober 2005 (RegionalII). Pertemuan
ini dihadiri oleh para Kepala Dinas Kesehatan Provinsi dan Direktur Rumah Sakit
Propinsi se-Indonesia yangmembahas Rencana Aksi Nasional (RAN) Pencegahan dan
Penanggulangan Gizi Buruk 2005-2009,dan menginformasikan bahwa 70% dari
anggaran yang tersedia akan di fokuskan pada promosi kesehatan (dalam hal ini
upaya promotif dan preventif).
Sehingga
perlu strategi khusus dalam menangani persoalan gizi buruk ini.Strategi yang
dapat dilakukan yaitu dengan pendekatan kesejahteraan rumah tangga. Hal ini
menjadi poin penting untuk mengatasi gizi buruk pada balita, meningkatkan
pelayanan kesehatan pada level posyandu, perlujuga diadakannya sosialisasi
mengenai pengetahuan gizi kepada setiap anggota keluarga, program-program
bantuan untuk masyarakat miskin perlu diintensifkan terutama melakukan
diversifikasi bantuan bukan saja terhadap karbohidrat tapi juga mencangkup
protein dan vitamin.
Salah satu program bantuan yang
dapat diterapkanyaitu melalui Program Bengkel Gizi Terpadu/BeGiTu, dan
merupakan salah satu program regular turunan dari Program Sedekah Pangan
yang kini tengan berjalan (on going program), selain program turunan
lainnya seperti Dapur Sosial/Dapsos, Paket Pangan Keluarga dan Food Truck.
Program BeGiTu ini telah
dilaksanakan di daerah Desa Karang Tengah, Pagedangan - Kabupaten Tangerang.
Aksi Cepat Tanggap/ACT melalui Direktorat Social Development intens menggelar
program ini.Program ini dilaksanakan pada hari Senin, dan dilaksanakan
oleh Tim Social Development-ACT , dengan kegiatan pemeriksaan kesehatan,
penyuluhan kesehatan dan pembagian paket gizi, untuk 60 balita di Desa tersebut.
dr. Lukman Hakim yang merupakan
salah satu dokter Pembina Program BeGiTu, mengatakan bahwa anak yang sehat bisa
dilihat dari berat badan dan tinggi badannya. Secara kasar, patokan berat badan
seorang anak adalah sebagai berikut : anak umur 1 tahun beratnya 3 kali lipat
berat badan saat lahir, Menurutnya umur 2 tahun idealnya anak memiliki berat
badan 4 kali lipat dari berat saat dilahirkan.
Dalam program ini diadakan juga
penyuluhan mengenai makanan sehat dan bergizi vitamin.
Dalam penyuluhan tersebut dijelaskan tentang bagaimana cara mengolah makanan vitameal, menjadi makanan yang
sehat dan menarik bagi buah hati, sehingga mereka menyukainya. Penyuluhan ini membuat para orang tua sadar akan
pentingnya gizi untuk anak yang berpengruh terhadap tumbuh kembang anak
terutama balita.
Program ini telah berjalan selama
satu tahun lebih dan hasil yang didapatkan cukup memuaskan.Yang ditunjukkan
dengan adanya pengurangan jumlah penderita gizi buruk di desa karang tengah
tersebut.Program ini juga dapat dilakukan di derah Sumatera Barat karena sangat
disayangkan sekli dengan jumlah pangan dan perikanan yang tinggi tapi masih ada
anak atau balita yang menderita gizi buruk.
Untuk merealisasikan program ini
pemerintah daerah dapat memasukkan program BeGiTu ini ke dalam program kerja
yang harus dilaksanakan setiap bulannya.Dan juga bekerjasam dengan tenaga
kesehatan yang professional dan ikhlas yang berada di daerah tersebut untuk
membantu pemerintah dalam merealisasikan program ini. Dan tenaga keshatan ini
yang akan memberikan penyuluan terhadap masyarakat di daerah tersebut. Hal ini
dilakukan agar tidak ada kesenjangan antara pendudukan asli dan pendudukan
pendatang sehingga anak atau balita dapat tumbuh dengan sewajarnya dan
pembangunan bangsa ini dapat berjalan dengan semestinya.
Daftar Pustaka.
http://digilib..ac.id/download.php?id
Lembaran
Khusus
· Jelaskandalam1 lembar khusus, mengapa anda
memilih judul essaytersebut?,kejadianapa
yang memotivasiandamenulisessay tersebut,
bagaimanakahperasaanandadenganmasalahtersebut?, apa yang sudahandaketahui?danpengetahuanbaruapa
yang andapelajaridalamperkuliahan? Serta aparencanaandakedepan?
Judul essay yang saya buat adalah “Masalah Gizi Buruk di
Daerah Sumatera Barat dan Cara Mengatasinya”. Essay ini
saya buat karena akhir-akhir ini banyak seklai masalah gizi buruk di Indonesia
terutama di daerah pedesaan. Hal ini akan menurunkan para generasi muda yang
akan membangun bangsa ini di masa yang akan datang. Sehingga perlu perlakuan
yang serius untuk mengatasi masalah gizi buruk.Indonesia adalah Negara
berkembang namun pangan yang dihasilkan melimpah seharusnya hal ini dapat
dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia dan pemerintah untuk mengolah dan
mengelolannya.Jangan sampai lahan di Indonesia di gunakan untuk membangun
industry-industri yang dapat menyebabkn terjadinya pencemaran di lingkungan
kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar